Klampok Lor adalah salah satu Desa di kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak. Secara geografis terletak di dataran rendah dengan luas wilayah 200 hektar. Desa ini cukup agraris dengan melihat mata pencaharian utama dari masyarakatnya yang kebanyakan adalah petani di sawah.
Menurut Kepala Desa Klampok Lor Sofinuha, meski sebagian besar masyarakat bergantung hidup dengan bertani, Klampok Lor termasuk desa yang sulit air, lebih-lebih pasokan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti air minum, mandi, masak, mencuci pakaian dan sebagainya.
Untuk sumber air sendiri, masyarakat memanfaatkan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) yang diolah dari sungai atau sumur bor yang dibuat di masing-masing rumah warga. Sayangnya, kebutuhan air rumah tangga dan bertani seringkali tak terpenuhi, terutama di musim kemarau.
“Klampok Lor itu kangelan banyu, khususnya air bersih. Meski ada PAMSIMAS tapi airnya terbatas, apalagi kalau lagi kemarau,” kata Sofinuha pada Jumat, 21 Juni 2022
Selain itu Sofinuha turut menjelaskan salah-satu penyebab krisis air bersih di Desa Klampok Lor adalah karena letaknya yang tak jauh dari objek wisata Api Abadi Mrapen di daerah Grobogan, Kecamatan Godong. Sehingga sumur bor yang dibuat oleh warga secara mandiri di rumahnya tidak lebih dalam dari 80 meter.
“Kalau lebih dari 80 meter, misalnya 100 meter saja. Airnya sudah tercemar oleh gas beracun karena dekat dengan Api Abadi Mrapen yang jadi objek wisata,” jelasnya.
Manuver Masyarakat Desa di Tengah Krisis Air dan Pandemi
Meski kebanyakan masyarakat Klampok Lor menggantungkan hidupnya dengan bertani, tapi karena persoalan pasokan air yang tidak mencukupi ,sebagian masyarakat mencoba mencari alternatif penghasilan lain untuk menghidupi keluarganya. Seperti beternak puyuh, berjualan hingga wedding organizer di acara pernikahan.
Abdullah Kanif (32), adalah salah seorang warga yang memilih mencari penghidupan lain selain bertani meski dirinya memiliki sawah untuk di garap. Ia bercerita kepada saya tentang binsis jasa Wedding Organizer yang dijalaninya. Menurutnya, akar rumput dari sebagian masyarakat yang bekerja di bidang itu adalah karena adanya salah seorang warga yang merantau ke Jogja dan kemudian menjalankan bisnis Wedding Organizer di Klampok Lor.
“Awalnya itu karena ada perantau Jogja yang membuka usaha dekorasi pernikahan disini, masyarakat yang awalnya hanya tahu hidup dengan mengolah sawah diajak kerja dan diajari. Sekian tahun, usaha itu ditutup. Sehingga mereka yang awalnya bekerja bikin usaha dekorasi sendiri sampai sekarang,” jelas Kanif.
Sayangnya, sejak pandemi covid-19 usaha wedding organizer yang dijalani Kanif dan wedding organizer lainnya sempat terhambat bahkan vakum, hal itu dikarenakan tidak ada yang menggelar prosesi hajatan perkawinan saat pandemi. Sehingga tidak ada yang menyewa jasa mereka.
“Waktu itu saya sempat kebingungan mencari nafkah, karena tidak ada yang membutuhkan jasa dekorasi, gak cuma saya sih dekorasi lain juga” ucapnya dengan nada prihatin.
Menjalin Nafkah Dengan Rumput Kering
Hal serupa juga dirasakan oleh kakak Kanif yaitu Nur Wakidah (39), sebelum adanya pandemi ia membuka usaha seblak untuk membantu menambah penghasilan keluarganya. Sedangkan suaminya Minarno (40) bekerja bersama Kanif sebagai Wedding Organizer.
Hari itu, Minggu, 3 Juli 2022. ketika saya menemui Nur di kediamannya, cuaca di Desa Klampok Lor cerah dengan terik matahari yang menyengat kulit. Di perjalanan terlihat Warga desa sedang sibuk menggelar tikar untuk menjemur padi yang telah di panen beberapa hari sebelumnya, mulai di pelataran rumah masing-masing maupun di pinggir aspal jalan.
Berbeda dengan masyarakat lainnya, Nur bersama kedua anaknya yang bernama Ulfi Izzatun Najwa (9) dan Muhhammad Nabil Iqbal Fadlullah (16) sedang merangkai kerajinan bunga kering untuk dijual. Di depan rumahnya teronggok berbagai macam bunga yang sebelumnya telah direndam dengan pewarna sintetis dan cairan H202 atau Hidrogen Peroksida.
“Awalnya karena suami dan adik tidak lagi mendekorasi dan warung seblak saya sepi. Muter otak bagaimana caranya bisa menghasilkan uang, akhirnya dapat ide untuk bikin kerajinan bunga kering,” Katanya.
Nur bercerita, ide untuk membuat kerajinan tangan itu muncul karena melihat peralatan dekorasi milik suaminya di rumah. Ia pun kemudian terpikir untuk mengolah bunga kering yang biasa dijadikan pajangan saat acara perkawinan. Bahan kerajinan bunga kering tersebut ia dapat dari bunga dan rumput liar yang banyak tersebar di desanya.
“Daripada hanya menjadi limbah karena sering dipangkas warga maupun petani, mending di olah menjadi kerajinan bunga kering,” katanya dengan sumringah.
Ia mengaku, awal memulai bisnis kerajinan bunga kering, Nur dan suaminya seringkali menerima kegagalan demi kegagalan, terlebih ia juga mendapatI olok-olokan dari sebagian warga di Klampok Lor.
“Narno, Narno… Istrimu kok dikasih makan rumput,” teriak Nur, menirukan olokan yang pernah diterima oleh suaminya.
Dari ceritanya, kegagalan-kegagalan yang dialaminya dapat terjadi karena Nur dan suaminya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengolah limbah bunga dan rumput liar menjadi kerajinan bunga kering. Selama sebulan lebih belum menunjukkan hasil, Nur tak patah semangat, berbekal menonton youtube hingga browsing di internet. Mereka akhirnya belajar secara otodidak bagaimana menghasilkan kerajinan bunga kering tersebut.
Nur menjual kerajinan bunga keringnya kepada pemasok kerajinan bunga kering di daerah Purwokerto dan Kudus. Menurutnya, hasil keterampilan tangannya itu akan dijual kembali di toko hiasan hingga toko dekorasi perkawinan untuk dijadingan pajangan dinding maupun ditaruh ditatakan meja.
Pemasok kerajinan bunga kering itu biasanya datang sekali seminggu. Nur dibantu oleh suami, anak dan adiknya bisa menghasilkan 500-1000 tangkai bunga kering biasa, 300 hiasan dinding dari rumput akar dan 100 bucket bunga kering. 1 tangkai bunga kering dipatok dengan harga Rp.2000,00 sedangkan untuk hiasan dinding dari rumput akar Rp3000,00 dan Rp.5000,00 untuk harga bucket bunga kering.
“Kalau pesanannya banyak, biasanya kami meminta tolong kepada warga desa lain untuk mengumpulkan rumput liar. Sekilonya dihargai tiga ribu rupiah,” jelasnya.
Meski masih tergolong usaha rumahan yang masih diolah secara tradisional dan belum termasuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Tapi Nur bertekad untuk terus mengembangkan usahanya. Saat ini, ia tidak hanya memproduksi kerajinan bunga kering tapi juga mulai merambah pada bisnis kerajinan kayu.
“Selain kerajinan bunga kering juga sudah ada kerajinan kayu seperti kotak perhiasan, kotak hantaran hingga rak pajangan. Bahannya sendiri itu kayu jati yang juga dari limbah, dibeli dari pabrik perabotan dan furnitur di daerah kudus,” jelasnya.
Ketika saya menyinggung penghasilan yang ia peroleh dari hasil menjual kerajinan bunga kering dan kerajinan kayu tersebut. Nur tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Ya seberapa lah. Alhamdulillah cukup untuk membiayai hidup keluarga dan sekolah anak,” ucapnya.
ditulis oleh: ihsanul fikri