Derasnya arus modernitas dan globalisasi menyebabkan berbagai persoalan muncul dalam perkembangan dunia, sehingga terjadi penyimpangan moral tanpa batas pada perilaku masyarakat. Budaya semacam ini mengakibatkan proses pendangkalan dalam kehidupan sosial dan spiritual umat manusia. Kemudian banyak generasi muda yang sudah terjerumus dalam perilaku amoral dari akibat terkikisnya nilai-nilai karakter yang seharusnya menjadi pegangan dalam perilaku yang sesuai budi pekerti luhur. Dalam hal ini, pendidikan karakter menduduki posisi penting dengan harapan menjadi sebuah jalan keluar dalam memberikan pengarahan dan pengaruh positif untuk kembali membangun karakter mulia terkhusus pada generasi muda, sehingga kedepannya bisa berperilaku baik di masyarakat.
Media budaya menjadi salah satu upaya untuk menanamkan pendidikan karakater. Karena nilai-nilai pendidikan karakter merupakan nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sejak dahulu. Dalam kebudayaan itulah terdapat beragam nilai-nilai luhur yang akan membentuk suatu karakter yang kuat serta baik untuk dijadikan teladan. Karya sastra dan seni menjadi salah satu kebudayaan yang bisa dijadikan sebagai sumber pendidikan karakater. Secara langsung maupun tidak, dalam sebuah karya banyak terkandung berbagai narasi yang berisi teladan, hikmah, nasihat, ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan pembentukan karakter (Indianto, 2015:4). Di Indonesia, khususnya di Jawa, penanaman pendidikan karakter melalui karya seni sastra dan budaya diperkenalkan oleh walisanga, yakni sembilan wali yang berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu wali yang paling populer bagi masyarakat Jawa adalah Sunan Kalijaga. Beliau banyak berdakwah menyebarkan agama Islam di Jawa khususnya daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan media kesenian. Sunan Kalijaga lebih populer dicitrakan sebagai “Sunannya rakyat” karena dalam berbagai cerita Sunan Kalijaga dikisahkan selalu dekat dengan rakyat, salah satunya memilih untuk berpakaian sama dengan orang awam meski ia sebenarnya berasal dari keluarga pejabat pada masa itu.
Dapat kita ketahui bersama bahwa berbagai macam karya warisan dan ajaran Sunan Kalijaga sangat banyak mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang sampai saat ini tentu masih cukup relevan untuk diimplementasikan di era globalisasi sekarang. Hal tersebut disebabkan banyak ajaran beliau yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dimana dalam berdakwahnya menyesuaikan situasi dan kondisi di masa tersebut. Berikut akan dipaparkan secara ringkas makna filosifis yang terkandung dari karya dan ajaran beliau terkait pendidikan karakter yang masih cukup relevan untuk diimplementasikan di era globalisasi sekarang khususnya di Indonesia.
Tembang Lir-Ilir bermakna sebagai ajaran syariat untuk menjalankan ajaran Islam sesuai isi dari rukun Islam. Pelaksanaan pendidikan karakter sesuai tembang Lir-Ilir pada intinya menyuruh untuk beriman, religius, berbudi pekerti luhur, sabar, ikhlas, rela dan lainnya sebagai orientasi melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Pada tembang Gundul-Gundul Pacul memiliki makna khususnya bagi para pemimpin hendaknya melaksanakan tugas dengan adil, amanah, tanggung jawab serta dapat mengayomi rakyat yang dipimpinnya.
Kemudian ada karya seni gamelan, kenthongan dan bedhug memiliki falsafah agama yang tinggi dengan tujuan beriman kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya. Perayaan sekaten dan grebeg juga berorientasi untuk mengajak kepada kebaikan yakni memeluk Islam dengan ikhlas, sadar sepenuh hati. Kemudian seni wayang menggambarkan sikap dan sifat seseorang untuk mempunyai pendirian yang kuat, beriman, memperbanyak teman dengan jalan kebaikan serta berontak jika ada kezaliman. Lalu karya Sunan Kalijaga pada Ketupat mengandung filosofi untuk selalu sedekah atau membantu orang lain. Ketupat juga mengartikan pada diri untuk sadar, bahwa manusia mempunyai dosa atau kesalahan dan senantiasa memohon maaf kepada Allah setiap waktu.
Sunan Kalijaga juga berperan di bidang tata kota yang sedemikian rupa sehingga jika dirasakan sangat mendalam makna filosofisnya. Penataan masjid yang biasanya di sebelah barat alun-alun mendiskripsikan bahwa manusia harus ingat Allah. Penataan kantor pemerintahan mengajarkan diri untuk bersikap pemurah, pemaaf dan menjauhi kesombongan. Adanya alun-alun menandakan bahwa manusia harus berpedoman lengkap yaitu dengan syariat, haqiqat, thariqat dan ma‟rifat. Ditanamnya pohon beringin bermaksud untuk selalu berhati-hati dalam menjaga hukum atau undang-undang yang berlaku. Kemudian ajaran Amar Ma‟ruf Nahi Munkar mempunyai makna bahwa segala perbuatan yang baik harus ditegakkan dan yang buruk ditinggalkan dengan berpedoman pada lima istilah prasaja, prayoga, pranata, prasetya dan prayitna. Ajaran Narima Ing Pandum bermakna sikap ikhlas, menerima, amanah, sabar dan berbudi luhur dengan didasari ketakwaan menerima takdir Allah baik atau buruk.
Ajaran Astabrata Cupu Manik Astagina, Sunan Kalijaga mengajarkan untuk berpedoman pada delapan ajaran yang terkandung. Ajaran tersebut berisi tindakan yang harus diingat serta diterapkan dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui baik buruk kehidupan di dunia ini. Inti dari Astabrata Cupu Manik Astagina berisi tentang godaan hawa nafsu yang digambarkan seorang wanita, persatuan dan kesatuan antar individu tanpa membeda-bedakan, mampu mengatur dan memiliki sesuatu sesuai porsinya, mempunyai pegangan hidup yang kuat, mempunyai keahlian atau bakat yang harus dimanfaatkan dengan baik dan ditularkan, berkata lemah lembut tanpa emosi, harus bertekad kuat dalam meraih cita-cita, serta saling mengisi kehidupan dunia dengan selaras, harmonis menuju kehidupan kekal di akhirat. Ini semua dapat dijadikan referensi sifat dan sikap hidup teladan bagi manusia khususnya umat Islam di Indonesia di masa kini dan mendatang.
Widya Rachmawati, Mahasiswi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) UIN Walisongo Semarang